Diakui General Manager PT Dian Graha Elektrika (distributor ponsel Diga) Farid Manan, saat ini apapun ponsel yang berbentuk qwerty pasti akan laku di masyarakat. Terlebih, banyak dari ponsel China tersebut yang dibanderol dengan harga rata-rata Rp900 ribuan. Tapi Farid menyayangkan, terkadang banyak ponsel itu justru dijual di atas Rp1 juta.
"Operator dengan vendor ponsel lebih menekankan kepada press pricing, agar mendapatkan harga yang sangat murah. Namun, mereka tidak memikirkan stok yang diperlukan agar masyarakat bisa menikmati terjangkaunya harga tersebut," kata Farid, usai peluncuran produk terbaru Diga, di FX Plaza, Jakarta, Rabu petang.
Meningkatnya permintaan BB wanabe murah yang tidak diiringi dengan pasokan dari vendor dan operator menjadikan barang yang diinginkan tidak selalu ada di pasaran. Hasilnya, masyarakat yang ngebet ingin membeli ponsel ini, akhirnya memilih ponsel yang tidak bundling, dan itulah yang membuat ponsel tersebut bisa dijual di atas Rp1 jutaan.
"Namanya penjual, pasti ingin mencari untung yang besar. Yang akhirnya konsumen 'teriak-teriak' susahnya mendapatkan ponsel yang sesuai dengan brosur bundling. Operator sebenarnya tahu masalah ini, tetapi mereka sering menutup mata," tandasnya.
Soal pasokan, Farid membeberkan, untuk sebuah vendor ponsel China yang ingin memasukan produknya ke Indonesia. Minimal harus menyediakan 10 ribu unit. Sampai saat ini, kontribusi ponsel China sendiri di pasar lokal tidak mencapai 20 persen, paling besar 15 persen. Dengan jumlah vendor mencapai puluhan.